Industri Panas Dingin

  • Whatsapp
banner 728x90
.

DUNIA Usaha merespons negatif rencana pemerintah membatasi impor barang
konsumsi. Dikhawatirkan, kebijakan ini menjadi blunder yang membuat investor
dan mitra dagang kabur. Industri jadi panas dingin. Wakil Ketua Umum Kamar
Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Hubungan Internasional Shinta
Widjaja Kamdani mengimbau pemer­intah mengurungkan niatnya membatasi impor.

Tim ekonomi Kabinet Kerja menghitung un­tung ruginya. “Saya ingin
mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menerapkan kebijakan ini.
Karena saat ini industri manufaktur kita mulai tumbuh,” ujarnya kepada
Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.

Dia selalu mengingatkan agar pemerintah tidak mengeluar­kan kebijakan
kontraproduk­tif dengan targetnya sendiri. Pembatasan impor bukan satu-satunya
cara menekan defisit transaksi berjalan. Kebijakan ini justru dinilai
menghambat ekspor bernilai tambah tinggi. 

Bukan cuma itu, rencana ke­bijakan ini tidak sesuai wak­tunya. Sebab dalam
beberapa bulan terakhir, Indonesia tengah gencar membuka pasar melalui
perundingan Free Trade Agree­ment (FTA) dan menarik investor untuk menanamkan
modalnya di dalam negeri.

“Takutnya bila kita mener­apkan kebijakan ini akan mem­berikan sinyal
negatif kepada investor maupun mitra perund­ingan kita. Satu sisi kita menarik
investasi, tapi di sisi lain pemer­intah mau mengontrol impor,” tuturnya.

Diingatkan Shinta, bukan hanya Indonesia yang bisa mem­batasi impor. Negara
tujuan pasar atau mitra dagang Indone­sia juga mampu menerapkan hal yang sama.
Sehingga pemerintah harus mewaspadai kebijakan re­taliasi yang mungkin
dihadapkan ke Tanah Air.

“Kalau pemerintah tetap me­maksa melaksanakan kebijakan ini, kami meminta
mereka harus benar-benar hati-hati dalam me­nentukan komoditas yang akan
dihentikan. Karena implikasinya akan sangat luas,” tukasnya.

Ketua Umum Gabungan Pen­gusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Luk­man
menolak rencana pem­batasan impor barang konsumsi. Pembatasan impor bahan baku
dan barang modal kebijakan yang keliru. Dia pun kecewa belum diajak bicara
terkait ren­cana tersebut.

“Perlu diingat. Industri ma­kanan dan minuman (mamin) juga memerlukan
bahan baku impor. Kalau pemerintah mau batasi, kami juga akan mem­batasi
produksi,” ujarnya. Selagi belum diputuskan, pe­merintah perlu mengkaji
secara matang rencana tersebut. Pem­batasan impor bisa berdampak pada iklim
investasi.

Daripada mengeluarkan ke­bijakan yang bikin gaduh dunia usaha, pemerintah perlu
memas­tikan regulasi yang ada berjalan lancar. Bahkan kalau perlu, pe­merintah
melakukan deregulasi alias pemangkasan kebijakan untuk memuluskan investasi di
dalam negeri.

Menurutnya, pembatasan im­por kerap terkendala sejumlah faktor. Salah satunya
nomor Harmonized System Code (HS) produk tersebut. Sering kali ditemukan satu
jenis barang memiliki nomor HS yang sama. Padahal salah satu produk meru­pakan
bahan baku, dan lainnya produk jadi.

Untuk diketahui, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana
membata­si impor barang konsumsi yang masuk ke Indonesia. Upaya ini dilakukan
untuk menekan defisit transaksi berjalan yang melebar karena tingginya impor,
semen­tara ekspor masih terbatas.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Naz­ara menegaskan,
pemerintah bakal menggunakan berbagai cara untuk menahan laju impor barang
konsumsi. Apalagi be­berapa impor barang konsumsi merupakan barang yang bisa
diproduksi di dalam negeri.

“Barang konsumsi tadi dii­dentifikasi lebih dari 500 jenis komoditas yang
bisa diproduksi dalam negeri. Ini kami lakukan sebagai langkah-langkah kenda­likan
impor,” kata Suahasil.

Pertama, dengan mengenakan Pajak Penghasilan (PPh) Impor. Pengenaan ini harus
berdasarkan jenis barang yang dan kebijakan impor barang tersebut seperti
apa. 


Kedua, Kemenkeu akan me­minta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
mengidentifikasi setiap barang yang masuk ke Indonesia. Nantinya pemerin­tah
bisa mengenakan tarif bea masuk untuk mengerem barang impor yang sebenarnya
tidak dibutuhkan.

Rencananya pembatasan impor barang konsumsi ini akan diatur dalam Peraturan
Menteri Keuan­gan (PMK) sebagai payung hukumnya. Sejauh ini, Suahasil
menjelaskan, ketentuan yang akan diatur dalam PMK masih dikaji dan akan segera
diumum­kan dalam waktu dekat.**

Sumber: rmol.com

Berita terkait