Gempa Pasigala, Pengulangan 80 Tahun Lalu

  • Whatsapp
Keterangan Foto : Catatan gempa bumi di wilayah Timur Indonesia (Foto: Dr. Danny Hilman – LIPI)
banner 728x90
GEMPA berkekuatan 7,4 SR di wilayah Palu, Sigi dan Donggala (Pasigala) pada Jum’at, 28 September 2018 lalu merupakan pengulangan kejadian 80 tahun lalu. Penyebab gempa disertai tsunami dan likuifaksi ini pemicunya adalah sesar mendatar/strikie-flipe Palu-Koro yang sifat geraknya mengiris (sinistral).
 
Menurut Pengamat Kebencanaan Sulteng, Abdullah MT, gempa besar tersebut merupakan energi yang tersimpan 80 tahun lalu. Jadi,saat kejadian patahan itu ada energi kekuatan yang dikeluarkan dari dalam bumi membuat gempa dengan kekuatan besar.
 
Sejauh ini, sesar Palu-Koro sudah 2 kali menimbulkan gempa dengan M > 7 SR dan keduanya menimbulkan tsunami, yakni pada 20 Mei 1938 dengan M  7,6 SR dan 28 September 2018.
“Jarak antara kedua pusat gempa tersebut adalah sekitar 30 km.
Selisih waktu antara kedua gempa tersebut adalah 80 tahun. Jadi, sesar Palu-Koro pada segmen 30 km dan sekitarnya, untuk mengumpulkan energi yang lebih besar dari 1.024 bom atom Hiroshima, butuh waktu puluhan tahun untuk (kemungkinan) dia lepaskan lagi dalam bentuk gempa dengan magnitude lebih dari tujuh skala richter,” terang Abdullah, Selasa (30/10/2018).
Lebih jauh dijelaskan gempa 5 SR setara dengan 1 kali bom atom Hiroshima, pada skala 6 SR sama dengan 32 kali dan 7 SR setara dengan 32 kali 32 (1.024) kali bom atom Hiroshima.
 
Abdullah juga mengungkapkan bahwa  kemungkinan terjadinya gempa yang besar sangat kecil. Sebab energi yang besar telah dikeluarkan. “Perlu diingat untuk gempa susulan akan terus terjadi sampai maksimal empat minggu, namun dengan guncangan yang kecil dan makin melemah,”  jelasnya.
 
“Justru akan sangat berbahaya jika setelah gempa besar terjadi, tapi tidak ada gempa susulan kecil setelahnya,  berarti masih ada potensi energi besar,” tambahnya.
 
Informasi ini sekaligus menangkal berita hoax tentang akan adanya gempa dengan kekuatan besar, yang sengaja disebarkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
 
Sebagian besar gempa yang terjadi di wilayah ini, khususnya Lembah Palu dan perairan Selat Makassar merupakan kontribusi dari aktivitas sesar ini. Sejarah gempa bumi tektonik yang diakibatkan oleh aktivitas sesar Palu-Koro seumur dengan awal mula terbentuk dan aktifnya sesar tersebut, ribuan tahun yang lalu.
 
Beberapa yang sempat tercatat, yang menimbulkan bencana adalah Gempa Donggala 1927, menyebabkan sejumlah korban jiwa dan menimbulkan tsunami dengan tinggi gelombang 15 meter yang menerjang pantai timur Teluk Palu, merubah daratan sekitar 200 meter dari pantai termasuk di dalamnya kawasan pasar Mamboro menjadi dasar laut.
 
Gempa bumi Tambu atau gempa Mapaga 1968,  menimbulkan tsunami dengan tinggi gelombang sekitar 10 meter, longsoran tanah, dan munculnya mata air panas di sepanjang pantai. Di Mapaga tercatat sekitar
790 rumah rusak dan mengakibatkan korban jiwa yang cukup besar.
 
Istilah air laut berdiri adalah sebutan dari masyarakat setempat untuk fenomena tsunami. Masyarakat sudah mengenal gempa bumi dan air laut berdiri sejak lama.
 
Menurut sumber dari Stasiun Geofisika Palu, gempa pernah terjadi pada 1 Desember 1927, jam 12:37 waktu lokal dengan pusat gempa: 0.5 LS, dan 119,5 BT. Pusatnya di Teluk Palu. Gempa ini menimbulkan kerusakan bangunan di Palu, Donggala, Biromaru, dan sekitarnya.
 
Di Palu tiga kios besar di pasar rusak total, yang lainnya rusak berat. Jalan utama, menuju pasar rusak berat dan beberapa bagian jalan di belakang pasar tersebut turun setengah meter. Pasar Biromaru rusak total dan kantor kecamatan rusak berat. Kantor Pemerintah Daerah Donggala roboh sebagian.
 
Gempa juga dirasakan di bagian tengah Sulawesi yang jaraknya sekitar 230 kilometer dari pusat gempa. Terjadi gelombang pasang dari Teluk Palu dengan ketinggian maksimum 15 meter. Rumah-rumah di pantai mengalami kerusakan, 14 orang meninggal dan 50 orang luka-luka. Tangga dermaga Talise hanyut sama sekali. Dasar laut setempat turun 12 meter.
 
Gempa susulan dirasakan sampai di Parigi hingga 17 Desember 1927. Gempa dan air laut berdiri serupa juga pernah terjadi pada tahun 1968 menimbulkan tsunami dengan tinggi gelombang sekitar 10 meter, longsoran tanah, dan munculnya mata air panas di sepanjang pantai.
 
Ada pula catatan gempa besar di tahun 1938 dengan episentrum di daratan sekitar Kecamatan Kulawi. Gempa tahun 1938 terekam seismograf pada skala guncangan 7,9 magintudo. Lalu berselang 30 tahun berikutnya, di tanggal 15 Agustus tahun 1968 sesar Palu Koro kembali menimbulkan gempa besar setara dengan 7,4 magnitudo. Episentrumnya berada di wilayah Pantai Barat Kabupaten Donggala. Gempa tahun 1968 kembali memunculkan tsunami besar setinggi 10 meter.
 
Historis gempa paling dekat yang terekam berupa guncangan Sesar Palu Koro di tahun 1996 (7,9 magnitudo), juga di tahun 2012 kemarin dengan skala 6,1 magnitudo dengan episentrum di dekat Danau Lindu, Kabupaten Sigi.
 
Sebuah rumus empiris, yang didasarkan pada hitungan-hitungan statistik, telah dikemukakan oleh seorang seismolog Jepang: bahwa periode berulangnya gempa-gempa besar adalah dalam rentang waktu (69 ± 13,2) tahun. Tepatnya: 55,8 sampai 82,2 tahun. Jadi, Gempa Donggala yang terjadi lebih dari 50 tahun yang lalu, berada dalam periode pengulangan tersebut.***
Reportase: Ikhsan Madjido

Berita terkait