Kisah Nyata Korban Tsunami Pasigala, Selamat Karena Ditolong Buaya

  • Whatsapp
banner 728x90

oleh: dr lukman s. thahir
HARI ITU, Senin 28 Oktober 2018,  tepatnya jam 7.30
pagi, cuaca kota palu, khususnya di bibir pantai kampung Lere,  tidak
seperti biasanya sangat dingin, sejuk dan bersahabat. Mentari pagi saat itu
baru saja merekah, memancarkan keindahan cahayanya. Menyelimuti beberapa
bekas-bekas reruntuhan rumah dan bangkai kendaraan yang belum habis dibersihkan
akibat gempa tsunami dan likuifaksi yang melanda kota itu.

Belum lama kendaraan saya menyisir lokasi itu, menyisakan
kenangan yang pahit dan menakutkan, karena di tempat itu saya nyaris di terjang
tsunami, tiba2 hp saya berdering, menyentakkan kesadaran, membangunkan dari
lamunan bahwa hari itu saya janjian dengan seorang ibu yang bersedia untuk
diwawancarai berkisah tentang dirinya yg diselamatkan seekor buaya ketika
dihempas gelombang tsunami.

Jam di tangan saya ketika itu telah menujukkan pukul 8.15.
O0. Ibu itu, dengan mengenakan jilbab dan berpakain kaus  bergambar pulau
sulawesi yang bertuliskan Palu bangkit, menerima saya dengan ramah, bersemangat
dan penuh senyuman. Suasana demikian seolah2 melukiskan perasaannya bahwa dia
telah siap bangkit dari bencana yang menimpanya. Dengan berbasa basi sejenak,
memperkenalkan diri saya menanyakan kabarnya, kondisi keluarganya, dan
sebagainya, ibu yang bernama Ji’ranah itu perlahan demi perlahan menarik napas
panjang, merunduk diam, dengan wajah mulai menegang, berusaha mengingat kembali
rekaman kejadian yang dialaminya. Saya masih merinding kalau mengingat kejadian
itu. Demikian kata  ibu Jeranah, alumni jebolan pondok pesantren
alkhairaat itu, saat memulai kisahnya.
Sore itu, sekitar jam 4. 00, seperti biasanya, selesai
shalat ashar,  ia bersama anaknya, Masri Maulana Mursalin (kelas 6 SD)
menuju lokasi Nomoni untuk pameran kuliner di sana.  Sebagai Owner UKM
Cendana Food,  ia selalu di undang setiap tahun dari dinas Koperasi dan
umkm kota Palu untuk memasarkan jualan2 termasuk kulinernya di anjungan. Ketika
tiba di jembatan ponulele, waktu itu belum disterilkan, banyak orang yang masih
berdiri dipinggiran jembatan untuk menonton buaya yang muncul di permukaan air
di bawah jembatan. Tidak seperti biasanya, cuman satu ekor yang muncul,
 hari itu buaya banyak yang bermunculan. Ada sekitar 4 ekor, 1 ekor paling
besar sekitar 6 mtr panjangnya. Sore itu bulu kuduk saya merinding, seolah
mengisyaratkan akan terjadi sesuatu. Seram melihatnya,  sebab ke empat
ekor buaya itu berjejer dan berhadapan satu sama lainnya seolah2 berbisik akan
terjadi sesuatu. Ya Allah, ada apa gerangan ini?,  suara hatiku berteriak.
kalau bisa jangan hujan deras lagi atau angin puting beliung sebagaimana
festival nomoni pertama dan kedua. Setelah sampai di stand tendanya,
 berhadapan dengan samsat seberang jalan, ada juga rumah soki2, tempat
rumah miniatur  adat kaili yang dijadikan tempat berjualan dan 30 tenda
ukm disebelahnya, anaknya pamit untuk bermain di jembatan yang dekat bibir
pantai. Saya mengizinkannya dengan syarat, jika azan magrib sudah memanggil
maka segera pergi ke masjid sansat yang tidak jauh dari tendanya  untuk
sama2 kita shalat. Tidak pernah terpikir dan terbayangkan, saat azan terdengar
hayya alasshalah, entah telinga saya mendengar darimana suara seperti auman
singa yang lagi marah dan gemuruh alam begitu kencang, tiba2 bumi bergoncang
merontokkan anjungan yang menimbulkan suara yang sangat nyaring. Seketika semua
orang terkejut dan terbelalak. Semua orang berteriak ketakutan, sebab anjungan
yang dicor semen yang kuat dan di atasnya seluruhnya lantai beton, jeblos dan
tenggelam terbawa masuk ke dalam air. Ratusan orang tercebur, sementara lainnya
berusaha menyelamatkan diri. Belum sempat hilang dari rasa takut mereka, tiba2
tsunami menerjang dengan begitu cepatnya, menggilas semua yang ada
dihadapannya, menghanyutkan siapa saja yang menghalanginya, atau yang mencoba
lari dari amukannya, termasuk ibu Ji’ranah. Dalam suasana berlari kencang ingin
menyelaamatkan dirinya ke kantor samsat, sambil memeluk pohon erat2, gulungan
ombak menghantamnya dgn   begitu keras, ia berpegangan lagi di tangga
jalan samsat, Lalu diterjang lagi gelombang berikutnya, hingga akhirnya dia
terbawa arus  ke dalam salah satu kantor di samsat, terkurung di dalamnya
dengan badan penuh lumpur, biru lebam sekujur tubuhnya dan kaki terasa nyeri.
Di saat itulah ia mengingat anaknya.
Ya Allah, kalau Engkau ingin mengambil jiwaku, aku pasrah
menerimanya, tetapi, selamatkan anakku. Do’a ini bagi ibu jeranah, ternyata
membangkitkan semangatnya untuk bertahan hidup. Meski air masih sebatas
lehernya di dalam gedung yang sudah gelap, ditemani oleh seorang anak wanita
yang terpisah dgn ibunya dan terseret gelombang dari tempat penggaraman di
pesisir pantai talise (Kira2 ¬1000 m), dan dikelilingi  beberapa mayat
yang bermunculan di sekitarnya, ia memberanikan diri untuk ke luar mencari
pertolongan dari ruangan itu. Air ketika itu sudah mulai surut sampai sebatas
dadanya. Perasaannya menjadi tenang dan gembira, ketika samar-samar dari
kejauhan ia melihat ada sebuah perahu yang diterangi semacam penerang senter
menuju arahnya. Hatinya berkata, itu pasti dari team SAR. Alhamdulillah ya
Allah Engkau utus bantuan. Tetapi alangkah terkejutnya dia, karena ternyata
 apa yang dikiranya senter yang menyala menghampirinya, ternyata berasal
dari mata seekor buaya besar dengan mulut yang terbuka lebar. Allahu akbar3.
Ibu itu berteriak. Saya ini selamat dari tsunami, tetapi akan mati ditelan
buaya. Tetapi tidak, kata hati kecil ibu ini, buaya itu ia yakin Allah
datangkan untuk menyelamatkan dirinya. Subhanallah tiba2 buaya itu menutup
mulutnya, memutarbalik badannya, lalu sambil berjalan mengibas2 ekornya
meruntuhkan bangkai2 kendaraan dan kayu2an yang ada disekitarnya, seolah olah
membuat jalan untuk diikuti. Begitu kuatnya buaya itu membersihkan puing2 yang
menghalangi jalan ibu itu, sehingga ujung ekor buaya menghantam tangannya yang
mengakibatkan luka dan berdarah.  
Ternyata, tanpa ia sadari  buaya
itu mengarahkan jalannya ke arah belakang kantor samsat, dan setelah
mendapatkan tempat untuk diduduki dan beristrahat, buaya itupun akhirnya pergi
dan menghilang tanpa bekas. Dalam hati ibu Ji’ranah ketika itu,  hanya
bisa bersyukur, terima kasih ya Allah, Engkau selamatkan diriku melalui seekor
buaya besar yang seram dan menakutkan.
 Malam hari itu ketika ibu Jeranah di selamatkan oleh
beberapa orang yang kebetulan lewat di situ, ia di bawa ke arah jl. Undata,
dibersihkan tubuhnya yang penuh lumpur dan darah di tangan dan pada kakinya, di
salah satu rumah di sekitar situ dan kemudian diistirahatkan di salah satu
masjid.
Ketika ia benar-benar sadar, ia balik ke rumahnya,untuk
mengetahui keadaan anaknya, dan ternyata anaknya pun di selamatkan oleh Allah
tersangkut di mesin AC salah satu kantor belakang samsat oleh seseorang yang
belakangan hari dikenal bapak Abd. Rahman, teman UKM-nya juga.
Maha Suci Engkau ya Allah, ibu Jeranah yang di kenal
tetangga dan masyarakat suka menolong anak yatim atau orang2 yang anaknya
terbengkalai akibat bercerai, ternyata dengan  kebaikan itu, bukanlah
manusia yang datang menolongnya, tetapi ia di tolong oleh seekor buaya. Rabbana
ma khalaqta hadza bathila (“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan sesuatu
dengan sia-sia”, al-Imran, 191).  Wallahu a’lam bi as-shawab.**

Berita terkait